Lamtoro atau dalam bahasa latin dikenal dengan nama Leucaena leucocephala telah dikenal di nusantara sejak duhulu dengan sebutan petai cina. Tanaman lamtoro adalah tanaman yang termasuk kacang-kacangan yang berasal dari Amerika Tengah. Dipekirakan tanaman ini dibawa ke Indonesia pada abad ke-20 sebagai tanaman peneduh di perkebunan-perkebunan.
Saat ini, lamtoro ini sudah tersebar di semua pelosok pedesaan sebab mudah tumbuh hampir di semua tempat yang memperoleh curah hujan yang cukup. Manfaat lamtoto sudah banyak diberitakan yaitu sebagai pupuk hijau, bahan bangunan, tanaman pelindung untuk tanaman cacao, tanaman pinggir jalan, pagar hidup, pencegah erosi, bahan baku pembuat kertas, bahan bakar dan sebagai pakan hijauan yang mempunyai protein tinggi.
Tingkat Produktifitas ternak yang rendah pada peternakan kecil di daerah pedesaan dikarenakan ternak hanya diberi pakan rumput yang mempunyai kandungan nutrisinya rendah terutama protein kasar (PK). Produktifitas ternak akan meningkat jika kebutuhan gizinya terpenuhi antara lain dengan pemberian pakan tambahan yang berkualitas.
Menurut Mathius (1993), lamtoro sebagai pakan hijauan yang berkualitas belum dimanfaatkan secara optimal dan belum banyak dikomersilkan. Dengan meningkatnya pengetahuan para peternak maupun penyuluh di lapangan, diharapkan pemanfaatan lamtoro untuk pakan ternak bisa meningkatkan produktivitas ternak di pedesaan terutama pada peternakan rakyat berskala kecil.
Nilai Nutrisi Lamtoro Untuk Pakan Ternak
No | Uraian | Bahan Kering % |
1 | Protein Kasar (PK) | 29,89 |
2 | Lemak | 5,4 |
3 | Serat Kasar | 19,61 |
4 | NDF | 39,94 |
5 | Lignin | 5,5 |
6 | Kalsium | 1,2 |
7 | Pospor | 0,22 |
Selain itu lamtoro mempunyai (3 karoten yang merupakan provitamin A. Sekalipun pada musim kering daun lamtoro tetap berwarna hijau berbeda dengan rumput yang pada musim kering menjadi kecoklatan (Jones,1979).
Zat Anti Nutisi Pada Lamtoro
Lamtoro adalah tanama yang termasuk hijauan yang mempunyai gizi tinggi tapi pemanfaatan lamtoro untuk pakan ternak pemberiannya perlu kita dibatasi. Lamtoro mengandung zat anti nutrisi yaitu asam amino non protein yang disebut mimosin, yang bisa menimbulkan keracunan atau gangguan kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dan terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (Haryanto, 1993 dan Siregar, 1994).
Ternak ruminansia seperti sapi, kambing, domba yang mengkonsumsi pakan yang mengandung mimosin dalam dosis yang tinggi bisa menunjukkan gejala kehilangan bulu. Namun dengan bantuan mikroorganisme tertentu atau enzim, mimosin bisa dirombak menjadi 3-hydroxy-4 (IH) pyridone (DHP) yang derajad keracunannya Iebih rendah. Mikroorganisme tersebut terdapat dalam rumen ternak ruminansia Indonesia (Lowry, 1982 dan Haryanto, 1993), sedangkan enzim terdapat pada tanaman Iamtoro dewasa dan hampir terdapat pada semua bagian sel tanaman (Lowry, 1982).
Menurut Jones (1979) konsentrasi tertinggi terdapat pada tunas baru (12% bahan kering), kemudian biji (4-5% bahan kering) dan terendah pada ranting yang masih hijau (1-2% bahan kering).
Zat anti nutrisi Iainnya yang terdapat di dalam lamtoro yaitu asam sianida (HCN) yang sangat berpengaruh buruk karena bisa menyebabkan terjadinya pembengkakan kelenjar tiroid pada ternak. Asam sianida bisa menyebabkan keracunan akut (mematikan) dan keracunan kronis. Pada dosis rendah HCN yang masuk dalam tubuh ternak dalam jangka waktu yang cukup lama bisa menurunkan kesehatan ternak.
Disamping itu lamtoro juga mengandung tanin yang bisa menurunkan palatabilitas pakan clan penurunan kecernaan protein (Siregar, 1994). Namun menurut Jones (1979) dan Manurung (1996) adanya sejumlah tanin dalam Lamtoro bisa mencegah kembung dan melindungi degradasi protein yang berlebihan oleh mikroba rumen.
Dengan adanya zat anti nutrisi dalam hijaun lamtoro tidak mengurangi nilai manfaatnya sebagai pakan hijauan yang berkualitas. Pencampuran hijauan ini ke dalam hijauan Iainnya merupakan salah satu cara mengurangi resiko keracunan pada ternak ruminansia. Selain itu, proses pemanasan (pengeringan atau pelayuan) bisa meningkatkan pemecahan mimosin menjadi DHP yang kurang toksik (Tangendjaya dan Lowry, 1984.
Menurut Lowry (1982 ) bahwa pengeringan sebaiknya dilakukan pada suhu antara 55-700C, jika lebih tinggi dari 70°C akan menyebabkan terjadinya denaturasi enzim . Perendaman lamtoro di dalam air panas pada suhu 60°C selama 3 menit bisa mengubah mimosin menjadi DHP hanya terjadi pada daun, sedangkan pada tangkai daun tidak terjadi penurunan.
Pemanfaatan Lamtoro untuk Pakan Ternak
Pemberian pakan tunggal pada ternak yang terdiri dari rumput-rumputan yang biasanya rendah kandungan nitrogennya tidak akan memenuhi kebutuhan zat-zat gizi minimal ternak, campuran rumput atau jerami dengan daun lamtoro sangat menguntungkan untuk memperbaiki nilai gizi yang rendah.
Dari beberapa hasil penelitian pemberian daun lamtoro sebagai campuran pada rumput atau jerami bisa memperbaiki nilai gizi ransum. Sitorus (1987) melaporkan bahwa penambahan hijauan lamtoro segar sebanyak 0,5 kg pada ransum dasar domba dan kambing (ransum dasar terdiri dari 1,8 kg rumput gajah yang ditambah jerami padi yang diberikan secara bebas) menunjukkan adanya perbaikan dalam nilai konsumsi pakan bila dibandingkan dengan ternak yang hanya mendapat ransum dasar.
Hasil riset yang telah dilakukan oleh Semali dan Mathius (1984) menunjukkan bahwa pemberian daun lamtoro sebanyak 1 kg/hari adalah jumlah pemberian yang optimal untuk pertumbuhan ternak domba muda.
Sedangkan, menurut hasil riset Wina (1982) penambahan daun lamtoro sampai dengan 30% pada ternak domba yang diberi ransum dasar rumput gajah menunjukkan nilai koefisien cerna protein, bahan organik dan energi yang lebih tinggi daripada kaliandra dan gamal, tapi tidak berbeda dalam pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum (bahan kering, bahan organik dan energi.
Menurut Wahyuni dkk. (1981) melaporkan hasil percobaan pada ternak sapi PO (Peranakan Ongole) yang diberi ransum pokok rumput lapangan ditambah daun lamtoro sebanyak 0%, 20%, 40%, 60% dan 100% yang memberikan
pertambahan bobot badan harian masing-masing sebesar 0,02 kg, 0,29 kg, 0,54 kg dan 0,57 kg dan 0,38 kg. Pemberian lamtoro 40% dan 60% adalah terbaik bila dibandingkan dengan pemberian lamtoro sebanyak 0%, 20% dan 100% (Gambarl). Selain itu selama 26 minggu (182 hari) dilakukan percobaan tidak terlihat adanya gejala keracunan pada ternak.